Tokoh-tokoh Penyebar Agama Islam di Kalimantan

Tokoh-tokoh Penyebar Agama Islam di Kalimantan
      Agama Islam mulai masuk ke Kalimantan pada awal abad ke-16. Akan tetapi, Islam mulai berkembang setelah para pejuang Islam dari Kesultanan Demak datang ke Banjarmasin. Pasukan Demak diminta bantuan oleh Pangeran Samudra untuk memadamkan perselisihan di Daha.
      Setelah memperoleh kemenangan, Pangeran Samudra pun memeluk agama Islam dan diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjar. Pangeran Samudra menetapkan agama Islam sebagai agama resmi negara. Namun demikian, agama Islam belum berkembang luas. Agama Islam tersebar luas di Kalimantan, khusunya di Kesultanan Banjar, setelah dua orang ulama terkemuka berdakwah di Kalimantan Selatan. Ulama tersebut adalah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Syekh Muhammad Nafis. Kedua ulama ini sangat berpengaruh dan merupakan tokoh penting dalam penyebaran agama Islam di Kalimantan Selatan.
a) Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
Beliau dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari kamis dinihari 15 Shofar 1122 H, bertepatan 19 Maret 1710 M. Anak pertama dari keluarga muslim yang taat beragama , yaitu Abdullah dan Siti Aminah. Sejak masa kecilnya Allah SWT telah menampakkan kelebihan pada dirinya yang membedakannya dengan kawan sebayanya. Dimana dia sangat patuh dan ta’zim kepada kedua orang tuanya, serta jujur dan santun dalam pergaulan bersama teman-temannya. Allah SWT juga menganugrahkan kepadanya kecerdasan berpikir serta bakat seni, khususnya di bidang lukis dan khat (kaligrafi).
Pada suatu hari, tatkala Sultan Kerajaan Banjar (Sultan Tahmidullah) mengadakan kunjungan ke kampung-kampung, dan sampailah ke kampung Lok Gabang alangkah terkesimanya Sang Sultan manakala melihat lukisan yang indah dan menawan hatinya. Maka ditanyakanlah siapa pelukisnya, maka dijawab orang bahwa Muhammad Arsyad lah sang pelukis. Mengetahui kecerdasan dan bakat sang pelukis, terbesitlah di hati sultan keinginan untuk mengasuh dan mendidik Muh. Arsyad kecil di istana yang ketika itu baru berusia ± 7 tahun.
Sultanpun mengutarakan goresan hatinya kepada kedua orang tua Muh. Arsyad. Pada mulanya Abdullah dan istrinya merasa enggan melepas anaknya yang tercinta. Tapi demi masa depan sang buah hati yang diharapkan menjadi anak yang berbakti kepada agama, negara dan orang tua, maka diterimalah tawaran sultan tersebut. Kepandaian Muh. Arsyad dalam membawa diri, sifatnya yang rendah hati, kesederhanaan hidup serta keluhuran budi pekertinya menjadikan segenap warga istana sayang dan hormat kepadanya. Bahkan sultanpun memperlakukannya seperti anak kandung sendiri.
Setelah dewasa beliau dikawinkan dengan seorang perempuan yang solehah bernama tuan “BAJUT”, seorang perempuan yang ta’at lagi berbakti pada suami sehingga terjalinlah hubungan saling pengertian dan hidup bahagia, seiring sejalan, seia sekata, bersama-sama meraih ridho Allah semata. Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muh. Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.
Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya Siti Aminah mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muh. Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya.Deraian air mata dan untaian do’a mengiringi kepergiannya.
Di Tanah Suci, Muh. Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu. Diantara guru beliau adalah Syekh ‘Athoillah bin Ahmad al Mishry, al Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi dan al ‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abd. Karim al Samman al Hasani al Madani.
Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru Muh. Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muh. Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.
Menurut riwayat, Khalifah al Sayyid Muhammad al Samman di Indonesia pada masa itu, hanya empat orang, yaitu Syekh Muh. Arsyad al Banjari, Syekh Abd. Shomad al Palembani (Palembang), Syekh Abd. Wahab Bugis dan Syekh Abd. Rahman Mesri (Betawi). Mereka berempat dikenal dengan “Empat Serangkai dari Tanah Jawi” yang sama-sama menuntut ilmu di al Haramain al Syarifain.
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan kampung halaman. Terbayang di pelupuk mata indahnya tepian mandi yang diarak barisan pepohonan aren yang menjulang. Terngiang kicauan burung pipit di pematang dan desiran angin membelai hijaunya rumput. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti tanpa tahu sampai kapan penentiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muh. Arsyad di kampung halamannya Martapura pusat Kerajaan Banjar pada masa itu.
Sultan Tamjidillah (Raja Banjar) menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama “Matahari Agama” yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultanpun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’.
Dalam menyampaikan ilmunya Syekh Muh. Arsyad mempunyai beberapa metode, di mana antara satu dengan yang lain saling menunjang. Adapun metode-metode tersebut, yaitu:
Bil-hal
Keteladanan yang baik (uswatun hasanah)yang direfleksikan dalam tingkah-laku, gerak-gerik dan tutur-kata sehari-hari dan disaksikan secara langsung oleh murid-murid beliau.
Bil-lisan
Dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat dan handai taulan.
Bil-kitabah
Menggunakan bakat yang beliau miliki di bidang tulis-menulis, sehingga lahirlah lewat ketajaman penanya kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Buah tangannya yang paling monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin Littafaqquh Fiddin, yang kemasyhurannya sampai ke Malaysia, Brunei dan Pattani (Thailand selatan).
Setelah ± 40 tahun mengembangkan dan menyiarkan Islam di wilayah Kerajaan Banjar, akhirnya pada hari selasa, 6 Syawwal 1227 H (1812 M) Allah SWT memanggil Syekh Muh. Arsyad ke hadirat-Nya. Usia beliau 105 tahun dan dimakamkan di desa
Kalampayan, sehingga beliau juga dikenal dengan sebutan Datuk Kalampayan.
b) Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari
   Dalam deretan ulama Banjar, nama Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari tak kalah masyhur dibanding Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Kalau Muhammad Arsyad dikenal sebagai ahli syariat, maka Muhammad Nafis dikenal sebagai pakar ilmu kalam dan tasawuf. Dengan keilmuannya, ia berhasil menorehkan prestasi sebagai salah seorang ulama terkemuka Nusantara.
   Dialah pengarang “Durr Al-Nafis” (permata yang indah), kitab berbahasa Jawi yang dicetak berulang-ulang di Timur Tengah dan Nusantara, yang masih dibaca sampai sekarang. Dia berada dalam urutan kedua setelah Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari dari segi pengaruhnya atas kaum muslimin di Kalimantan.
   Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari bin Idris bin Husien, lahir sekitar tahun 1148 H/1735 M, di Kota Martapura Kalimantan Selatan, dari keluarga bangsawan atau kesultanan Banjar, silsilah dan keturunanya bersambung hingga Sultan Suriansyah (1527-1545 M.) Raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam sebelumnya bernama Pangeran Samudera.
   Silsilah lengkapnya adalah: Muhammad Nafis bin Idris bin Husien bin Ratu Kasuma Yoeda bin Pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin Sultan Tahlillah bin Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah. Muhammad Nafis hidup pada periode sama dengan Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
   Jika Arsyad meninggal tahun 1227/1812, Nafis belum diketahui tahun wafatnya. Yang kita ketahui, peristirahatan terakhir beliau di Mahar Kuning Desa Bintaru, sekarang menjadi bagian Kelua Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan, sekitar 125 kilometer dari Banjarmasin. Tidak ada catatan pasti tahun pergi menuntut ilmu ke tanah suci Makkah. Diperkirakan ia pergi menimba ilmu pada usia dini sangat muda, sesudah mendapat pendidikan dasar-dasar agama Islam di kota kelahirannya Martapura.
Sebagian ahli berpendapat, masa belajar Muhammad Nafis tak jauh dari masa Muhammad Arsyad al-Banjari. Bahkan, para masyasyikh-nya juga kebanyakan sama, yakni Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani, Muhammad al-Jauhari, Abdullah bin Hijazi al-Syarqawi al-Mishry (syekh al-Azhar sejak 1207 H/ 1794 M), Muhammad Shiddiq bin Umar Khan (murid al-Sammani) dan Abdurrahman bin Abdul Aziz al-Maghribi.
   Dari para gurunya itu, Muhammad Nafis banyak belajar tasawuf. Sekian lama ia mematangkan pengetahuan dan lelaku tasawufnya sampai ia diberi gelar kehormatan “Syekh Mursyid.” Dengan gelar itu, ia beroleh ijazah untuk mengajarkan dan membimbing ilmu tasawuf kepada orang lain. Pencapaian itu tentunya tak mudah dan instan, tapi membutuhkan waktu latihan dan perenungan yang sangat lama.
   Sekian lama berada di Mekkah, ia akhirnya kembali ke Nusantara, diperkirakan pada 1210 H/1795. Saat itu, yang memerintah di Banjar adalah Sultan Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808 M). Tapi, karena Nafis tak suka dekat dengan kekuasaan, ia memilih meninggalkan Banjar dan berhijrah ke Pakulat, Kelua, sebuah daerah yang terletak sekitar 125 km dari Banjarmasin. Alasan lain adalah perkembangan Islam di daerah sekitar Martapura dan Banjar sudah ditangani oleh Syekh Muhammad Arsyad.
Sedang daerah Kelua, termasuk daerah pedalaman, masih belum terjangkau oleh dakwah Islamiyah ulama Banjar. Dengan gigih, Muhammad Nafis mengenalkan Islam di sana.         Berkat kegigihannya, daerah itu kemudian menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Kalimantan Selatan. Juga menjadi daerah yang turut melahirkan para pejuang anti-Belanda.
   Dalam berdakwah, Muhammad Nafis dikenal sebagai sosok pengembang tasawuf yang andal. Meski di Banjar saat itu terjadi pertentangan antara kubu Muhammad Arsyad dengan Syekh Abdul Hamid Abulung yang didakwa sebagai pengembang wujudiyyah, dakwah tasawuf ala Muhammad Nafis berlangsung dengan lancar dan damai. Ini tak lepas dari corak tasawuf yang diusungnya, yakni “merukunkan” tasawuf sunni dan falsafi yang diposisikan secara diametral.
   Ia juga tampak tak terikat dengan satu tarekat secara total. Shingga, menurut pengakuannya sendiri, ia adalah pengikut tarekat Qadariyah, Syathariyah, Naqsabandiyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah. Keikutsertaan Muhammad Nafis dalam ragam tarekat Mu’tabarah itu seolah menunjukkan bahwa suluk menuju Tuhan bisa dilakukan lewat berbagai jalan, tak hanya mengandalkan satu jalan saja. Juga menunjukkan betapa pengetahuan tasawuf Muhammad Nafis sangatlah mendalam.
   Ciri khas ajaran tasawuf Muhammad Nafis adalah semangat aktivisme yang kuat, bukan sikap pasrah. Ia dengan gamblang menekankan transendensi mutlak dan keesaan Tuhan sembari menolak determinisme fatalistik yang bertentangan dengan kehendak bebas. Menurutnya, kaum muslim harus aktif berjuang mencapai kehidupan yang lebih baik, bukan hanya berdiam diri dan pasrah pada nasib.
   Sebab itulah, ajaran tasawuf ala Muhammad Nafis turut membangkitkan semangat masyarakat Banjar untuk berjuang lepas dari penjajah. Malah, konon, setelah membaca kitab karangannya, orang menjadi tak takut mati. Situasi ini jelas membahayakan Belanda karena akan mengobarkan jihad. Tak heran kalau kemudian berbagai intrik dilakukan oleh Belanda untuk menghentikan ajaran Muhammad Nafis, mulai dari kontroversi ajaran sampai pelarangan. Namun, dakwah Muhammad Nafis terus berlanjut sampai ia wafat.
ISLAM DI KALIMANTAN
   Bebeda dengan Muhammad Arsyad yang menjadi perintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis mencemplungkan dirinya dalam usaha penyebarluasan Islam di wilayah pedalaman Kalimantan. Dia memerankan dirinya sebagai ulama sufi kelana yang khas, keluar-masuk hutan menyebarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu beliau memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam di Kalimantan.
   Islam masuk Kalimantan Selatan lebih belakangan ketimbang misalnya, Sumatera Utara dan Aceh. Seperti diungkapkan Azra, diperkirakan pada awal abad ke-16 sudah ada sejumlah muslim di sini, tetapi Islam baru mencapai momentumnya setelah pasukan Kesultanan Demak datang ke Banjarmasin untuk membantu Pangeran Samudra dalam perjuangannya melawan kalangan elite di Kerajaan Daha. Setelah kemenangannya, Pangeran Samudra beralih memeluk Islam pada sekitar tahun 936/1526, dan diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjar. Dia diberi gelar Sultan Suriansyah atau Surian Allah oleh seorang da’i Arab.
   Dengan berdirinya Kesultanan Banjar, otomatis Islam dianggap sebagai agama resmi negara. Namun demikian, kaum muslimin hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk. Para pemeluk Islam, umumnya hanya terbatas pada orang-orang Melayu. Islam hanya mampu masuk secara sangat perlahan di kalangan suku Dayak.      Bahkan di kalangan kaum Muslim Melayu, kepatuhan kepada ajaran Islam boleh dibilang minim dan tidak lebih dari sekadar pengucapan dua kalimah syahadat. Di bawah para sultan yang turun-temurun hingga masa Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, tidak ada upaya yang serius dari kalangan istana untuk menyebarluaskan Islam secara intensif di kalangan penduduk Kalimantan. Karena itu, tidak berlebih jika Muhammad Nafis dan terlebih Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan tokoh penting dalam proses  Islamisasi lebih lanjut di Kalimantan. Dua orang ini pula yang memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan Selatan.
DAYA SPIRITUAL DAN KEWAJIBAN SYARIAT
   Tak banyak karya yang ditinggalkannya. Namun, karya-karyanya senantiasa menjadi rujukan, tak hanya bagi kaum muslim Nusantara, tapi juga mancanegara. Di antara kitabnya adalah al-Durr al-Nafs. Nama kitab “Durr Al-Nafis” sesungguhnya amatlah panjang. Lengkapnya, kitab yang ditulis di Makkah pada 1200/1785 ini: “Durr Al-Nafis fi Bayan Wahdat Al-Af’al Al-Asma’ wa Al-Shifat wa Al-Dzat Al-Taqdis”. Kitab ini berkali-kali dicetak di Kairo oleh Dar Al-Thaba’ah (1347/192 8)dan oleh Musthafa Al-Halabi (1362/1943), di Makkah oleh Mathba’at Al-Karim Al-Islamiyah (1323/1905), dan di berbagai tempat di Nusantara. Kitab ini menggunakan bahasa Jawi, sehingga dapat dibaca oleh orang-orang yang tidak faham bahasa Arab.
   Seperti diungkapkan Azyumardi Azra, dalam kitabnya itu, Muhammad Nafis dengan sadar berusaha mendamaikan tradisi Al-Ghazali dan tradisi Ibn ‘Arabi. Dalam karyanya ini, di samping menggunakan ajaran-ajaran lisan dari para gurunya, Nafis merujuk pada karya-karya “Futuhat Al-Makkiyah” dan “Fusushl-Hikam” dari Ibn ‘Arabi, “Hikam” (Ibn Atha’illah), “Insan Al-Kamil” (Al-Jilli), “Ihya’ ‘Ulumiddin” dan “Minhaj Al-‘Abidin (Al-Ghazali), “Risalat Al-Qusyairiyyah” (Al-Qusyairi), “Jawahir wa Al-Durar” (Al-Sya’rani), “Mukhtashar Al-Tuhfat al-Mursalah” (‘Abdullah bin Ibrahim Al-Murghani), dan “Manhat Al-Muhaammadiyah” karya Al-Sammani.
Kitab itu membicarakan sufisme dan Tauhid, menjelaskan maqam-maqam perjalanan (suluk) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Al-Durr al-Nafs ditulis atas permintaan sahabat-sahabatnya ketika berada di Mekkah. Menurut penuturannya, ia menulis kitab itu untuk menyelamatkan para salik (perambah jalan Tuhan) dari syirik khafi dan penyakit riya’ yang umum menghinggapi umat muslim. Kitab itu ditulis dalam bahasa Melayu Arab untuk memudahkan umat membaca dan memahaminya. Karena mutu dan ajarannya yang tinggi, kitab itu dicetak berkali-kali, baik di dalam maupun luar negeri.
   Sebagai penganjur aktivisme-sufistik, kontribusi Muhammad Nafis al-Banjari dalam membangun Islam di Banjar sangatlah besar. Tak aneh kalau kemudian ia diberi gelar Maulana al-Allamah al-Fahhamah al-Mursyid ila Tariq as-Salamah (Yang mulia, berilmu tinggi, terhormat, pembimbing ke jalan kebenaran) sebagai bentuk penghormatan masyarakat atas jasa-jasanya. Menimbang pencapaian dan prestasinya, gelar itu memang tak berlebihan baginya.
Bagi generasi muda masa kini, kita berharap saatnya untuk mengenang kembali, kemudian menghargai dan meneruskan cita-cita dan perjuangan Muhammad Nafis al-   Banjari dalam konteks kekinian. Selain itu, menelusuri jejak-jejak sejarah beliau mampu merekatkan kembali jalinan psikologis dan spiritual dari sang ulama tersebut. Dari peran beliau kita dapat mengetahui akar-akar pemikiran, akar-akar perjuangan, serta pengaruh yang muncul dalam fenomena kebangsaan kita. Sehingga paparan ini dapat memberikan gambaran utuh mata rantai perjuangan tokoh-tokoh Islam dulu, kini dan esok.
Gambaran tersebut akan sangat berarti bagi individu-individu yang ingin mempelajari dan menelaah kembali jaringan ulama Kalimantan yang mempersembahkan dedikasi dan loyalitasnya untuk pembangunan bangsa.
KARYA
   Karya beliau yang terkenal ialah ad-Durr an-Nafis. Kitab tersebut selesai ditulis pada 27 Muharam 1200 H/30 November 1785 M. Cetakan pertama kitab ini ditashhih oleh Syeikh Ahmad al-Fathani, di Mathba'ah al-Miriyah bi Bulaq, Mesir al-Mahmiyah. Pada terbitan pertama tercantum syair Syeikh Ahmad al-Fathani:
"Berpeganglah kamu dengan ilmu orang sufi, Nescaya kamu menyaksikan bagi Tuhanmu itu keesaan. Wahai yang meninggalkan sebaik-baik teman sekedudukan, Adalah kitab ini mengandung maksud keseluruhan, Seperti lautan, daripadanya tiap-tiap yang berharga penilaian''.
   Sebagai keterangan lanjut Syeikh Ahmad al-Fathani mencatatkan, ``Ketahui olehmu hai yang waqif atas kitab ini. Bahawa segala naskhah kitab ini sangatlah bersalah-salahan setengah dengan setengahnya, dan tiada hamba ketahuikan mana-mana yang muafakat dengan asal naskhah Muallifnya. Maka hamba ikutkan pada naskhah yang hamba cap ini akan barang yang terlebih elok dan munasabah. Dan tiada hamba kurangkan daripada salah suatu daripada beberapa naskhah itu akan sesuatu kerana ihtiyat''.
Ad-Durr an-Nafis cetakan pertama Syeikh Ahmad al-Fathani telah memberi keterangan beberapa istilah seperti terdapat pada kalimat-kalimat:
1. Maka hendaklah lihat olehmu kepada Abi Bakar, iaitu ibarat daripada mati nafsu yang ammarah ...''Syeikh Ahmad al-Fathani menjelaskan, bahawa nafsu ammarah, ialah ``nafsu yang cenderung kepada kejahatan''.
2. Bermula hasilnya segala wujud sesuatu itu dengan dinisbahkan kepada wujud Allah Taala yang haqiqi itu khayal, dan waham, dan majaz jua, kerana wujudnya antara dua `adam Bermula wujud yang antara dua `adam itu `adam jua adanya ...''. Keterangan Syeikh Ahmad al-Fathani, ``Dua `adam, ertinya `adam lahiq dan `adam sabiq. Pengertian `adam lahiq, ialah tiada yang mengikut. Pengertian `adam sabiq, ialah tiada yang mendahului''.
3. Dan pada sekira-kira zahir mumkin itu lain daripada Allah Taala. Dan sekira-kira haqiqatnya wujud mumkin itu, iaitu `ain wujud Allah Taala. Dan misalnya seperti buih dan ombak...''. Keterangan Syeikh Ahmad al-Fathani, ``Katanya, ``Dan pada sekira-kira zahir dan pada sekira-kira haqiqat ...'', maka kedua (-dua) itu `athaf. Katanya, ``Pada sekira-kira wujud, dan dhamir pada haqiqatnya dan dhamir pada nyatanya. Kedua (-dua) itu kembali kepada buih, dan dhamir daripadanya itu kembali kepada air''.
4. Syeikh Ahmad al-Fathani menjelaskan istilah ma'iyah, kata beliau, ``Yakni berserta: a. ittihad = bersuatu. b. hulul = bertempat. c. khayal, yakni apabila kita lihat jauh ada sesuatu, dan kita lihat dekat tiada ada, seperti alung-alung di tengah jalan Madinah''. Ad-Durr an- Nafis setelah cetakan pertama oleh Matba'ah al-Miriyah di Bulaq, Mesir tahun 1302 H/1884 M yang diusahakan dan ditashhih oleh Syeikh Ahmad al-Fathani itu terdapat berbagai-bagai edisi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tokoh-tokoh Sejarah Islam di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku

Teori keturunan Hadramaut Islam